Senin, 26 Mei 2008
Mengenang Kejayaan Sastra Melayu
Mengenang Seratus Tahun Bung Hatta
Mengenang 100 tahun proklamator kemerdekaan kita, Mohammad Hatta, 12 Agustus 1902-12 Agustus 2002, agaknya layak dilakukan seperti meninjau kembali hampir seluruh proses terbentuknya bangsa kita. Meninjau kembali berarti menilai ulang masa 100 tahun itu dengan pikiran warga negara merdeka. Tidak akan mengherankan bila tinjauan seperti itu menimbulkan kesadaran tentang betapa selama ini anggapan kita mengenai proses tersebut sarat dengan mentalitas rakyat jajahan.
Berbeda dari kebanyakan rakyat jajahan, Hatta tidak terperangkap dalam hanya menolak atau menerima cita-cita itu. Sebaliknya, ia dengan sangat bebas memilih dari kehidupan sekitarnya apa yang dianggap perlu bagi diri sendiri dan masyarakatnya. Sikap bebas ini, khususnya rasa girangnya menjelajahi hidup, selama ini dikaburkan, seolah-olah itu merupakan cacat, diganti dengan gambaran kesalehan Hatta yang hampir menjadi karikatur. Sesungguhnya masa kecil Hatta merupakan masa kemerdekaan bagi dirinya, kegirangan menjelajah kehidupan.
Hal yang serupa berlaku juga bagi masa tinggal Hatta di Belanda selama 11 tahun, 20 September 1921- 20 Juli 1932, kurun yang khusus akan dibicarakan di dalam tulisan ini. Sampai sekarang, masa tinggal Hatta di Belanda masih umum dianggap sebagai masa belajar, masa "menuntut ilmu" di negeri maju yang peradabannya jadi idaman. "Belajar" di sini dipahami bukan sekadar upaya individual, tetapi lebih sebagai usaha kolektif, yaitu hasrat suatu masyarakat keseluruhan untuk menyamai perkembangan masyarakat lain yang dianggap lebih maju. Bagi masyarakat yang belajar itu hubungan tersebut mengandung perasaan rendah diri, hubungan tidak sederajat dengan pihak lain.
Bertolak ke Rotterdam
Hatta meninggalkan Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, menuju pelabuhan Rotterdam, Nederland, pada Rabu, 3 Agustus 1921. Tiketnya kelas dua, sama dengan yang biasa dibeli oleh pejabat pemerintah golongan tengah yang libur ke Belanda. Di kapal itu ia sekamar dengan seorang Belanda totok berpangkat sersan mayor. Tidak hanya itu. Ketika berlabuh di Marseille, Perancis, Hatta berani turun ke darat berkat kemahirannya berbahasa Perancis, dan jadi pemandu bagi suatu keluarga Belanda yang membayari segala keperluan Hatta selama sama-sama menjelajahi kota itu.
Tiba di Rotterdam, Senin 5 September 1921, Hatta langsung menikmati buah pergaulannya yang sederajat dengan segala pihak selama di Batavia. Ia dijemput oleh Ir MJ Rvmer, kenalan Ir Van Leeuwen, tokoh yang memperkenalkan Hatta dengan perkumpulan teosofi. Walaupun demikian, Hatta tidak sampai tergantung pada kebaikan Rvmer dengan tinggal di rumahnya, Rozenburglaan No 52a, Rotterdam. Esok harinya Hatta segera pindah ke tempat yang lebih bebas, Tehuis voor Indische Studenten, Pesanggrahan Mahasiswa Hindia-Belanda di St Mauritsplein, sebelah utara pusat Kota Den Haag, yang baru resmi buka 15 Maret 1921.
Tindakan ini pun bukan tanpa perhitungan ekonomis. Bagi seorang pelajar, sekadar hidup di Belanda perlu paling sedikit 150 gulden sebulan atau 5 gulden sehari. Menginap di Tehuis itu hanya bayar 3 gulden, jadi cuma 90 gulden sebulan. Dengan bayaran semurah itu penghuni sudah dapat makan 3 kali sehari, dengan nasi untuk makan malam, selebihnya menu Eropa, roti. Pada hari Minggu disediakan nasi goreng. Hatta sendiri menilai penguni "sangat dimanjakan". Dengan 3.000 gulden di kantung, Hatta boleh merasa lega, paling kurang selama tahun pertama. Masuk akal bahwa Hatta segera terjun ke dalam kehidupan mahasiswa di Nederland dengan sepenuh hati.
Setelah seminggu di Den Haag, Hatta didatangi oleh Nazir Pamoentjak. Dengan semangat yang sama seperti memperkenalkan Jong Sumatranen Bond (JSB) di Padang Januari 1918, Nazir memberi tahu Hatta bahwa di Nederland sudah tidak ada lagi Inlander karena sudah menyebut diri Indonesier, sedang Nederlandsch-Indie sudah diganti dengan "Indonesia" sesuai anjuran Prof Dr Van Vollenhoven. Di Nederland juga sudah berdiri komite untuk autonomie voor Nederlandsch-Indie. Penganjurnya para guru besar Universitas Leiden. Ketuanya seorang guru besar emeritus di Fakultas Hukum berusia 76, Prof Dr Van Oppenheim.
Tentu Hatta agak kaget ketika kemudian Nazir mendesaknya masuk organisasi Indische Vereeniging, karena di Belanda tidak ada "Jong" ini atau "Jong" itu. Kenapa tidak Indonesische Vereeniging tukas Hatta. Nazir harus menjelaskan bahwa "Indische Vereeniging" didirikan pada 25 Oktober 1908, sedangkan penamaan Indonesier dan Indonesisch diperkenalkan pada 1917.
Boleh jadi "propaganda" Nazir itu menggugah juga, karena Sabtu berikutnya, 17 September 1921, Hatta langsung menerima anjuran Nazir agar berkenalan dengan teman-teman di Leiden. Hari itu ia berangkat dengan kereta api dari Den Haag, dan hanya dalam 15 menit sudah sampai di Stasiun Leiden. Yang lama, sekitar 30 menit, justru menunggu trem dari Tehuis ke stasiun Den Haag.
Sesampai di Leiden, Hatta langsung ke kamar Nazir di Bilderdijkstraat No 1, di Leiden Selatan, tetapi malamnya menginap di kamar Haji Dahlan Abdoellah di Hoge Woerd, Leiden Timur. Nazir, yang sebenarnya sudah lulus HBS pada Mei 1917, terlambat ke Belanda karena perang, sehingga ia baru akan masuk Fakultas Hukum di Universitas Leiden pada September 1922. Ketika bertemu Hatta di Den Haag, Nazir baru lulus ujian negara di bidang bahasa-bahasa klasik. Sebaliknya, Dahlan Abdullah menjabat guru bantu dalam bahasa Melayu untuk Frof Dr Van Ronkel.
Malam Minggu itu, Hatta bersama Nazir Pamoentjak dan Dahlan Abdoellah menemui mahasiswa lain di Hoge Woerd juga pada suatu hospita (ibu kos) yang menyediakan makan malam kepada pemesan. Mereka adalah Zainal Abidin, Ahmad Soebardjo, Darmawan Mangoenkoesoemo, Maramis, dan Harmen Kartawisastra. Sesudah makan mereka ramai-ramai ke kamar Soebardjo di Bilderdijkstraat, bergabung dengan Samsi Sastrawidagda dan Harsuadi.
Tahun itu resmi tercatat 72 orang pelajar Indonesia di Belanda, 29 siswa dan 43 mahasiswa. Mereka terdiri dari Jawa (48), Ambon (7), Minangkabau (5), Batak (4), Manado (4), Sunda (3), dan Palembang (1). Dari kelompok mahasiswa, hukum (14), kedokteran umum (9), teknik (5), kedokteran hewan (4), indologi (3), sastra (3), ekonomi/bisnis (3), pertanian (1), dan sains (1). Dari kelompok siswa, yang terbanyak adalah tentara (8), baru guru (5).
Yang paling sadar politik di antara mereka diresapi gagasan seorang tokoh yang dianggap paling progresif masa itu, yakni Prof Dr Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), guru besar hukum adat di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, sejak tahun 1901. Ia seorang pelopor aliran pemikiran etis, de etische richting, hal yang sangat berbeda kalau bukan bertentangan dengan politik etis, de etische politiek yang paternalistis berdasarkan anggapan tentang beban moral masyarakat kulit putih. Aliran etis ini dapat dirunut sampai ke pikiran dasar Hugo Grotius, yaitu perdamaian dunia, societas humana, lewat instrumen hukum internasional.
Dalam rangka pemikiran itulah Vollenhoven menulis disertasi untuk promosi doktor di Universitas Leiden, 3 Mei 1898 berjudul Omtrek en inhoud van het internationale recht (Cakupan dan Isi Hukum Internasional), dengan predikat cum laude. Pada tahun 1906, terbit jilid pertama magnum opus dia, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, yang menambah keyakinannya bahwa Hindia-Belanda harus diberi kesempatan menuju otonomi, emansipasi, bebas dari perwalian (ontvoogding).
Enam bulan setelah Hatta tiba di Rotterdam, di dalam suatu artikelnya di surat kabar NRC awal April 1922, Vollenhoven menulis al, Doch de vrijheidsgloed, dien wij bewonderen en eeren in 1572, gloeit sinds een dozijn jaren ook in ons Oosten. Juga semangat merdeka, yang kita kagumi dan hormati pada tahun 1572, bergolak sejak selusin tahun yang lalu di wilayah kita di Timur. Gagasannya tentang perdamaian, otonomi, emansipasi, menjadi populer berkat perkembangan internasional sesudah Perang Dunia I, tetapi sekaligus membangkitkan kemarahan kalangan kapitalis Belanda. Polemik marak sampai golongan kapitalis mendirikan fakultas indologi tandingan di Universitas Utrecht pada tahun 1925.
Kendati tidak pernah menyinggung suasana tersebut, boleh jadi dengan itu Hatta merasa makin yakin dengan masa depan masyarakatnya. Yang pasti Hatta menyimak debat teman-temannya yang baru di kamar Soebardjo sekitar gagasan dasar Vollenhoven mengenai otonomi Hindia-Belanda. Debat baru berakhir tengah malam, dengan dua orang pembicara terbanyak, Nazir Pamoentjak dan Darmawan Mangoenkoesoemo.
Mereka menyatakan rasa tidak puas dengan kerja sama di dalam Indonesische Verbond van Studerenden (Serikat Pelajar Indoneisa) dan pengingkaran Belanda atas janji otonomi dalam "November Belofte" Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum 18 November 1918. Walaupun demikian mereka tidak sampai pada sikap bersama. Yang pasti, sikap radikal hanya ada pada Darmawan Mangoenkoesomo yang menegaskan bahwa kerja sama dengan Belanda tidak akan berhasil.
Debat yang ramai itu tidak menghalangi Hatta menikmati malam panjangnya. Balik ke kamar Dahlan Abdullah, mereka berdua masih ngobrol tentang hal lain seperti kisah naik haji Dahlan beberapa bulan sebelumnya sampai pukul 02.30. Hatta baru bangun pukul 09.00, masih lebih pagi daripada temannya, pukul 10.30. Karena itu, ia sarapan sendiri dari yang sudah tersedia di ruang duduk: teh, kopi, telur, daging asap, dan butir cokelat. Hatta yang tentu sudah belajar etiket Belanda tahu ini hidangan aneh. Biasanya sarapan di Belanda dengan teh, sedangkan kopi untuk makan siang.
Habis sarapan ia dengan santai membaca surat kabar De Telegraaf. Setelah bangun dan sarapan, Dahlan mengajaknya keluar jalan-jalan sambil ngobrol. Tengah hari mereka kembali, dan Hatta kaget melihat menu koffie drinken alias makan siang sama dengan sarapan. Hatta sempat berkomentar bahwa mereka sarapan dan makan siang sambung-menyambung. Dahlan bilang, lumayan daripada Nazir Pamoentjak dua-duanya jadi satu, koffie drinken.
Minggu sore masih mereka habiskan dengan diskusi lagi di tempat Soebardjo sambil makan kue dan minum teh. Baru pukul 20.00, Hatta dan Darmawan meninggalkan Leiden. Hatta ke Den Haag, sedang Darmawan ke Delft. Ia mahasiswa teknik kimia di Technische Hogeschool di kota itu.
Esok paginya, Senin 19 September 1921, Hatta mendaftarkan diri di Handelshogeschool, Rotterdam. Caranya khas prosedur negara maju: bayar uang kuliah setahun (1921-1922) sebesar 200 gulden di bank (Mees & Zoon), lalu dengan tanda terima dari bank melapor di ruang pendaftaran sekolah tinggi itu. Karena waktu melapor itu baru mulai pukul 13:15, Hatta mutar-mutar dulu di sekitar lokasi sekolah tinggi, Pieter de Hoochweg, dekat pelabuhan, sambil tangsal perut. Hatta tidak pesan makanan, cuma segelas susu, tetapi itu merupakan kesempatan pertama ia berhadapan dengan masyarakat biasa Belanda.
Habis melapor, Hatta masih harus menunggu panggilan masuk menghadap rektor sekolah tinggi, Prof Dr F de Vries. Dalam menunggu itu, Hatta bertemu dengan seorang dari hanya dua mahasiswa Indonesia lain yang belajar di sekolah tinggi yang sama, Raden Mas Hidayat, yang sudah duduk di tingkat tiga.
Sambil koffie drinken di kantin sekolah tinggi, Hidayat memperkenalkan Hatta dengan mahasiswa Indonesia ketiga, Suzanna van Joost (peranakan ayah Ambon dan ibu Belanda). Kedua mahasiswa itu belajar di sana atas biaya sendiri, dan mampu jadi anggota korps dan klub mahasiswa elite dengan bayaran 50 gulden sebulan. Hatta menolak ajakan mereka jadi anggota klub atau korps dengan alasan keuangan, tetapi agaknya alasan sesungguhnya menyangkut juga kesadaran politik.
Pertemuan dengan De Vries cuma 15 menit. Sesudah itu Hatta langsung menuju De Westerbookhandel, toko buku terkenal di Rotterdam. Ia memesan buku-buku pegangan di sekolah tinggi, langganan majalah-majalah ekonomi, dan memasang iklan cari kamar. Buku-buku dibeli dengan mencicil, 10 gulden sebulan hingga sejumlah 150 gulden. Buku-buku itu antara lain: Taussig, Principles of Economics; Hartley Withers, The Meaning of Money; Schdr, Handelsbetrieblehre, Ekonomi Perusahaan; Gerstner, Bilanzanalyse, Analisa Neraca; TMC Asser, Schets van het Nederlands Haldelsrecht, Garis Besar Hukum Dagang Nederland.
Jadi, Senin 19 September 1921, Hatta resmi menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Bisnis (Handelshogeschool) Rotterdam dengan kesadaran politik yang tidak kalah tingginya. Perjumpaan dan pertarungan alam pikir Hatta dengan alam pikir Belanda di markasnya sendiri sudah mulai.
Di dataran masyarakat penjajah sendiri
Kuliah, baca, berjuang, bergaul, organisasi, mengamati kehidupan dan menikmati kehidupan, semuanya dengan kebebasan dan tanggung jawab terlihat jelas polanya dalam paparan di atas. Pola itulah yang telah berhasil terbentuk dalam kiprah Hatta hanya sedikit lebih daripada setahun hidup di Nederland. Apa yang menyusul kemudian boleh disebut lebih merupakan akibat, kelanjutan, kalau bukan pengulangan pola tersebut.
Segera setelah mendapat kepastian mengenai beasiswa, Hatta mengikuti jejak Ahmad Soebardjo Djojoadisoerjo dan Iwa Koesoema Soemantri menyingkir ke Lyon, Perancis, untuk menulis artikel-artikel buat Hindia Poetra dan buku ulang tahun Indonesische Vereeniging. Artikel-artikel kali ini dipusatkan pada sejarah perjuangan nasional di Asia, sehingga atas saran Soebardjo, Hatta singgah dulu ke Paris untuk membeli buku-buku yang diperlukan. Sampai pertengahan September 1923, mereka bekerja keras, lalu pulang ke Nederland untuk mengerjakan urusan organisasi, dan untuk Hatta pribadi untuk mengikuti ulangan ujian kandidat yang gagal.
Begitu kuliah dibuka kembali pada Senin ketiga September 1923, Hatta mengikuti kuliah tingkat doktoral, selain menyiapkan diri untuk ujian ulangan kandidat. Kuliahnya di tingkat doktoral dipusatkan pada mendalami teori-teori terbaru ilmu ekonomi yang diberikan oleh Prof Mr F de Vries. Lalu pada 27 November 1923, Hatta dinyatakan lulus ujian ulangan kandidat, sementara kuliah teori ekonomi macet karena De Vries jatuh sakit. Ia baru mengajar kembali setahun kemudian. Profesor lain, seperti GJW Bruins mungkin tidak akan memberi kuliah lagi karena akan sibuk di PBB gaya lama atau Volkenbond. Keadaan ini mempengaruhi kegiatan Hatta, khususnya perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia.
Februari 1924, pengurus baru Indonesische Vereeniging dibentuk, tetapi Hatta berhasil menolak ikut di dalamnya. Yang lebih penting lagi organisasi itu mengganti nama majalah Hindia Poetra dengan Indonesia Merdeka. April 1924, buku ulang tahun Indonesische Vereeniging terbit dan menggemparkan kubu kolonial. Demikian marahnya para pemimpin Belanda dengan sikap politik para mahasiswa Indonesia itu sampai Universitas Leiden ikut dipersalahkan. Tidak hanya itu.
Di Hindia-Belanda, pemerintah jajahan menakut-nakuti para orangtua mahasiswa sehingga melarang anak-anak mereka bergaul dengan pengurus dan anggota Indonesische Vereeniging. Teman karib dan teman sekamar Hatta, Zainuddin, salah seorang yang kena. Ia terpaksa pulang kampung memenuhi perintah ayahnya, sekalipun Hatta sudah berusaha mencegah. Ir Fournier dan Ir Van Leeuwen dengan terus-terang mengecam sikap politik Hatta, tetapi masih cukup toleran untuk tidak menggugat beasiswa Hatta.
Dengan makin jarangnya perkuliahan akibat beberapa profesor yang berhalangan mengajar, dan karena makin tegasnya sikap politik para mahasiwa Indonesia, Hatta seperti dibawa takdir untuk memusatkan tenaga di dalam pergerakan politik. Akhir 1925 ia pindah rumah di Adelheidstraat, Den Haag. Dalam kepengurusan Indonesische Vereeniging untuk 1925, ia terpilih lagi jadi bendahara ketika organisasi itu resmi bernama Perhimpunan Indonesia. Dalam kepengurusan tahun 1926, Hatta malah jadi ketua.
Arah politik ini mempengaruhi kuliahnya. Selama liburan panjang tahun 1924, ia memperdalam bahasa Perancis di Grenoble. Dalam masa pakansi tahun 1925, ia mempelajari koperasi di Skandinavia. Yang lucu atau aneh bagi kita, kendati pemerintah jajahan marah kepada Hatta dan mahasiswa lain, ketika kehabisan duit di Skandinavia, Hatta dan Samsi dipinjami uang oleh konsulat Belanda. Menjelang akhir tahun 1925, Hatta pindah jurusan di sekolah tinggi dari ekonomi umum ke keuangan negara atau ekonomi politik (staatkundige economische richting). Hatta menganggap jurusan itu lebih cocok dengan keperluannya sebagai pejuang politik.
Pidato Hatta sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia bukan main tajam, Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen, Sistem Perekonomian dan Pertentangan Kekuatan. Intinya, penjajah dan rakyat terjajah tidak mungkin kerja sama, tetapi harus bertarung satu sama lain. Inilah dasar teoretis bagi politik nonkoperasi Perhimpunan Indonesia. Dengan itu pula Hatta menolak teori-teori kolonial mengenai sifat asli bangsa-bangsa sebagai penyebab kolonialisme, seperti halnya Gustav Klemm.
Dengan politik nonkoperasi itu Hatta terjun bebas di kalangan pejuang kolonial anti-imperialis internasional. Pada 15 Agustus 1926, Hatta ikut Kongres Perdamaian Internasional di Bierville, dekat Paris. Asas nonkoperasi Perhimpunan Indonesia dan nama Indonesia jadi terkenal. Setelah pemberontakan PKI di Indonesia gagal, Hatta dan Semaun merumuskan konvensi yang mengakui kepimpinan Perhimpunan Indonesia dalam pergerakan nasional, hal yang membuat Stalin mengutuk Semaun.
Dalam kepengurusan Perhimpunan Indonesia 1927, Hatta dipertahankan sebagai ketua. Tugas utamanya menyiapkan kesertaan Perhimpunan Indonesia dalam Kongres Internasional Anti-Kolonialisme yang akan diadakan di Brussel, 10-15 Februari 1927. Kongres ini dirancang dengan dorongan Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme yang bermarkas di Berlin. Liga ini hasil inisiatif Partai Nasionalis Cina, Kuo Min Tang.
Juni 1927, Hatta dan Soetikno berangkat ke Samaden, Swiss, untuk menjenguk Soemadi yang sakit keras. Ia mahasiswa teknik di Delft, dan anggota Perhimpunan Indonesia yang aktif. Dengan sangat menyedihkan Soemadi meninggal di sanatorium, 10 Juni 1927, hanya disaksikan oleh dua penjenguknya. Tetapi, justru pada saat itulah pemerintah Belanda menggeledah kamar-kamar pengurus Perhimpunan Indonesia. Peristiwa itu terbaca di surat kabar oleh Hatta di Samaden esoknya, 11 Juni 1927. Mereka berdua sempat tertawa dengan kebohongan pemerintah bahwa Hatta lari ke luar negeri.
Pada 12 Juni 1927, Hatta dan Soetikno kembali ke Belanda lewat Brussel. Mereka malah gembira bahwa akhirnya Perhimpunan Indonesia berhasil menggetarkan kubu penjajah. Ternyata Hatta tidak diapa-apakan sampai September. Ia bersama perempuan intelektual Belanda, Henriette Roland Holst, masih sempat menghadiri Kongres Liga Perempuan Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan di Gland, pinggir Danau Jenewa, Swiss. Sesudah itu Hatta pulang ke Belanda lewat Paris.
Jumat, 23 September 1927, setelah beberapa hari di Den Haag, Hatta ditangkap di pondokannya. Ia dibawa ke penjara Casiusstraat. Ditangkap juga Nazir Pamoentjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdoel Madjid Djojoadiningrat. Penangkapan ini merupakan awal puncak perlawanan Perhimpunan Indonesia, karena keempat tokoh itu diadili mulai 8 Maret 1928. Pada 9 Maret 1928 keempat tertuduh mengemukakan pembelaannya. Pembelaan Hatta yang diserahkan tertulis dan dikemukakan garis besarnya kemudian terkenal dengan judul Indonesie Vrij. Menunggu sidang terakhir, keempat tahanan ditahan luar.
Kamis, 22 Maret 1928, pengadilan membebaskan keempat orang. Perjuangan Perhimpunan Indonesia mencapai puncaknya, dan menang! Hatta menang! Setelah itu Hatta memusatkan tenaga dan pikiran dalam pergerakan kemerdekaan dengan aktif di Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme. Akibat gerakan komunis, Hatta dikeluarkan dari Liga pada tahun 1930 bersama Nehru, Maxton, dan Fimmen.
Secara pribadi kemenangannya baru terjadi 5 Juli 1932. Hari itu Hatta lulus ujian doktoral, dan memperoleh gelar Drs Belanda dari Nederlandsch Handelshogeschool te Rotterdam. Pada 20 Juli 1932 Hatta meninggalkan Rotterdam menuju Paris dan Genoa. Dari Genoa ia naik kapal Jerman Saarbruecken ke Singapura. Pada 24 Agustus 1932 Hatta tiba di Batavia.
Mengenang Kejayaan Negeri Para Peraja
[PHOTO: Rekontruksi perjuangan Sultan Babullah.] 05/2/2005 15:59 — Kesultanan Ternate pernah meraih masa kejayaan pada abad XVI-XVII. Perjuangan rakyat Ternate mengusir penjajah pun tercatat dalam sejarah. Misalnya keberanian Sultan Babullah mengepung benteng Portugis.
Liputan6.com, Ternate: Hari baru saja terang tanah ketika sejumlah warga Desa Foramadiahi, Kecamatan Pulau Ternate, Maluku Utara, satu per satu keluar rumah. Rupanya mereka hendak menuju kediaman Keni, seorang tokoh masyarakat setempat yang cukup disegani. Di sanalah warga berkumpul untuk mempersiapkan ziarah ke makam Sultan Babullah, penguasa Kesultanan Ternate di Gunung Gamalama, satu-satunya gunung yang menjulang tinggi di Pulau Ternate. Ziarah ini mereka lakukan sehubungan dengan peringatan hari ulang tahun ke-754 Kota Ternate yang jatuh pada esok harinya.
Negeri Rempah-Rempah. Begitulah julukan lain Kesultanan Ternate pada abad XV. Wajar, soalnya sumber kekayaan alam, berupa tanaman rempah-rempah, seperti cengkih, pala, dan lada yang dimiliki Ternate sangat masyhur kala itu. Tak mengherankan, bila kemudian bangsa Arab, Tionghoa, Portugis, Belanda, dan sejumlah negera lainnya tergiur menyinggahi Ternate.
Ternate terletak di sebuah pulau kecil di ujung Barat Kepulauan Halmahera. Penduduk pertama Ternate berasal dari Kerajaan Jailolo di Pulau Halmahera yang mengungsi akibat penindasan penguasa. Dan, masuknya Islam pada abad XV di Ternate menjadikan kehidupan mereka makin maju. Mereka juga mengenal sistem kemasyarakatan dan pemerintahan yang maju. Ada pun masuknya Islam di wilayah tersebut sekitar 1486. Tepatnya saat putra Kaicil Marhoem, Zainal Abidin memeluk Islam dan sempat berguru dengan salah satu Walisongo, yakni Sunan Giri. Saat itulah penduduk Ternate mengartikan Kaicil sebagai putra sultan.
Sebutan Kaicil ini memang tak lepas dari sejarah Ternate itu sendiri. Ternate adalah salah satu kota tertua di Indonesia. Bahkan, kota ini tercatat dalam sejarah sebelum Kerajaan Hindu Majapahit (1294-1478) berkuasa di Nusantara. Namanya tercatat dalam Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular, pujangga besar pada masa Raja Hayam Wuruk.
Penduduk pertama Ternate berasal dari Kerajaan Jailolo. Mereka kemudian mengangkat pemimpin lokal dengan gelar Kaicil sebagai penguasa. Melalui berbagai peperangan, diplomasi, dan permusuhan, Ternate kemudian tumbuh menjadi kerajaan besar yang dipatuhi penguasa sekitarnya, seperti Bacan, Tidore, dan Jailolo. Penduduk empat wilayah ini sebenarnya adalah kerabat dekat atau disebut Moloku Kie Raha (kerajaan empat gunung di Maluku).
Sebagai pulau penghasil rempah-rempah, Ternate rupanya membuat bangsa Eropa tergiur untuk datang. Bangsa Eropa pertama yang masuk ke Ternate adalah Portugis pada 1512. Perlahan-lahan dengan liciknya Portugis mulai mengusik ketenteraman rakyat Ternate. Sampai kini, sisa-sisa kejayaan Portugis di Ternate masih berdiri, berupa sejumlah benteng. Satu di antaranya adalah Benteng Toloco. Meski telah termakan zaman, benteng itu masih gagah berdiri.
Niat Portugis yang semula hanya ingin berhubungan dagang dengan Kerajaan Ternate, ternyata hanya tipu muslihat. Setelah membangun banyak benteng, Portugis justru ingin menguasai pulau Ternate dengan cara yang kasar. Tokoh-tokoh besar Kesultanan Ternate banyak dibunuh dan masyarakat dipaksa setia pada raja Portugis, King John III.
Puncak kemarahan rakyat Ternate adalah saat Kaicil atau Sultan Hairun Jamil dibunuh dengan cara yang licik. Saat itu, gubernur Portugis mengundang Sultan Hairun ke meja perundingan. Bukannya berunding, Sultan yang disayang rakyatnya itu justru dibunuh dengan kejam. Kekejaman Portugis membuat anak Sultan Hairun, yakni Sultan Babullah marah besar.
Sejak ayahnya tewas, Babullah yang menjadi pewaris Kesultanan Ternate berjanji mengusir Portugis dari negerinya. Ia bertekad akan memerangi Portugis sampai mereka terusir dari "Jazirah Al-Mamlakatul Mulukiyah" atau Negeri Para Peraja. Perang pun berkecamuk antara 1570 sampai 1575.
Tindakan pertama yang dilakukan Sultan Babullah adalah mengepung Benteng Portugis (Sao Paulo). Pengepungan sangat erat sehingga tidak seorang pun dapat masuk atau keluar benteng. Dengan demikian diharapkan orang-orang Portugis akan menyerah setelah persediaan makanan mereka habis. Pengepungan berlangsung selama lima tahun dan akhirnya orang-orang Portugis menyerah.
Di saat pengepungan terakhir, Babullah memberikan kesempatan selama 24 jam bagi orang Portugis meninggalkan Kerajaan Ternate. Ia berjanji bahwa semua orang Portugis dengan harta miliknya boleh berangkat ke Ambon atau Malaka secara damai. Tiga hari sesudah penyerahan benteng, tibalah sebuah kapal Portugis dan diterima dengan baik oleh Sultan. Kemudian semua orang Portugis bersama-sama orang Kristen Ternate pindah ke Ambon. Warga Portugis yang menikah dengan wanita-wanita Ternate boleh menetap. Di kemudian hari, mereka berpindah ke Tidore.
Situasi ini justru dimanfaatkan Sultan Tidore untuk bersahabat dengan Portugis yang kemudian mengizinkan mereka mendirikan benteng di sana. Di sisi lain, Sultan Babullah terus berusaha mencari pembunuh ayahnya dengan mengirim utusan ke Spanyol--Tahun 1580 Portugis dipersatukan dengan Spanyol--yang dipimpin Naik. Tugas mereka menuntut agar Raja Spanyol menghukum pembunuh Sultan Hairun. Tapi, ternyata bahwa si pembunuh yang bernama Mesquita sudah meninggal.
Sultan Babullah akhirnya wafat pada Juli 1583 dan diganti Sultan Said (1583-1606). Tapi, perang terhadap bangsa Portugis masih terus berlanjut dan berkobar sampai di Ambon. Peperangan terus berlanjut sampai masuknya penjajah baru yaitu orang-orang Belanda yang mengalahkan Portugis pada 1605.
Kini, sudah 754 tahun Kota Ternate berdiri. Dengan Gunung Gamalama yang berdiri megah di tengah pulau, rakyat Ternate hidup bersahaja, tenteram, dan damai. Meski rakyat Ternate telah bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan berarti mereka melupakan sejarah para nenek moyangnya. Kebesaran perjuangan Sultan Babullah dalam mengusir penjajah tetap dikenang sepanjang masa.
Untuk membangkitkan kembali semangat heroik para pahlawan Ternate enam abad silam, warga Kampung Foramadiahi--salah satu kampung yang dulu menjadi pusat Kesultanan Ternate--berencana merekontruksi perjuangan Sultan Babullah. Warga pun berkumpul di rumah Keni. Dari pertemuan itu, warga sepakat untuk berziarah kubur ke makam Sultan Babullah sebelum merekontruksi perjuangan Sang Sultan.
Ziarah kubur ini tak melibatkan banyak orang. Hanya 12 orang yang pergi. Pasalnya, makam Sultan Babullah terletak cukup jauh dan memakan waktu satu jam perjalanan untuk sampai ke punggung gunung api setinggi 2.700 meter di atas permukaan laut. Tak heran, hanya mereka yang kuat yang diutus untuk berziarah. Tak ada persiapan khusus untuk ziarah kali ini, selain menunjuk orang yang sedianya membacakan doa di depan makam nanti.
Setelah menempuh perjalanan panjang, warga Desa Foramadiahi atau disebut pula Kampung Fora pun tiba di makam Sultan Babullah. Di depan pusara, warga bersimpuh memanjatkan doa-doa kepada arwah. Sultan, bagi warga kampung di kaki Gunung Gamalama, adalah simbol tertinggi perjuangan rakyat Ternate. Meski berabad-abad telah berlalu, dinasti Kesultanan Ternate tetap dihormati dan disegani sampai sekarang.
Esok harinya, perayaan yang dinanti-nanti tiba. Seluruh rakyat Ternate bersukacita menyambut kelahiran kota tercinta di depan kedaton Kesultanan Ternate. Dipimpin keluarga sultan, warga Ternate menggelar upacara penghormatan bagi para pahlawan.
Di Kampung Foramadiahi, kesibukan warga mempersiapkan rekontruksi perjuangan Sultan Babullah sudah terlihat. Warga mulai turun menuju Benteng Kastela, sebuah benteng Portugis yang berhasil diruntuhkan pasukan Sultan Babullah. Hujan deras yang mengguyur Kota Ternate tak diiraukan warga yang bersemangat. Meski perjalanan menuju Benteng Kastela harus ditempuh sekitar lima kilometer, warga tak gentar. Mereka, bahkan, berteriak semangat sambil terus menari tarian rakyat, Tari Cakalele.
Malam mulai menjelang saat warga Foramadiahi hampir tiba di Benteng Kastela. Suara genderang tifa dan gong besar menambah semangat heroik warga. Di tengah perjalanan, warga pejuang pun bergabung dengan keluarga Sultan Ternate. Bersama-sama, mereka mengepung Benteng Kastela. Rasa lelah, haus, dan lapar tak diiraukan para pejuang. Sejatinya, kisah heroik perjuangan Sultan Babulah dan rakyatnya di abad ke-15 seakan merasuki warga Foramadiahi malam itu. Bahkan, saking bersemangatnya seorang warga sempat kerasukan.
Malam ini, setelah enam abad berlalu, warga Ternate kembali merasakan hal yang sama. Rasa Syukur akan kemenangan yang dicapai Sultan Babullah seakan merasuki warga Ternate yang hadir di Benteng Kastela. Obor dinyalakan untuk mengenang para pahlawan bangsa. Benteng Kastela telah direbut. Rakyat pun bersorak gembira. Malam itu diakhiri dengan sebuah pesta kemenangan.(ORS/Ria Satriana Budi dan Bambang Triono)
Mengenang Kejayaan Lurik Pedan
Tahun 1950-an adalah saat-saat menyenangkan bagi pemuda Rachmad. Lahir dari keluarga pengusaha tenun, ia termasuk sedikit dari orang-orang beruntung karena bisa mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Apalagi, ia hanya berasal dari Pedan, sebuah kota kecamatan di pedalaman Klaten, sekitar 25 kilometer di selatan Surakarta.
Seperti umumnya pemuda kelas menengah, dia juga pernah dijangkiti ‘penyakit’ bosan sekolah sehingga ia keluar dari UI. Ia sempat pindah ke Fakultas Ekonomi Universitas Nasional, meski hanya dijalaninya selama tiga tahun. Di jurusan baru itulah, ia menemukan pilihan hidup baru. Ia mempraktekkan pengetahuan yang diperolehnya untuk mengembangkan usaha tenun lurik Atmo Prawiro, yang tak lain ayah kandungnya sendiri. Mulailah ia mencermati gaya hidup orang kota, seperti mode pakaian para tokoh dan kaum kaya juga jenis bahan yang mereka kenakan.
“Saya pernah membeli setelan jas terbuat dari wool untuk saya jiplak,” ujar Rachmad terkekeh, mengenang peristiwa tahun 1954 itu. Pulang ke Pedan, ia sudah memperoleh rumus jumlah benang yang harus dianyamnya dengan menggunakan mesin ayahnya. Singkat cerita, jas asli yang terbuat dari wool dengan motif kotak-kotak hitam-putih itu berhasil dibuatkan tiruannya. “Supaya tak melanggar hak cipta, saya menambahkan jumlah benang sehingga motifnya menjadi lebih besar dibanding aslinya,’ tuturnya. Lalu, jadilah setelah jas berbahan katun. Sekilas, kedua jenis bahan itu sulit dibedakan secara visual. Namun, ketika saya coba merabanya -seperti ditunjukkan Rachmad, 1 Agustus lalu, barulah saya tahu bedanya.
Di Pedan, ‘industri’ tenun lurik manual kini tersisa dua. Satu milik Rachmad yang mempekerjakan 70 orang -kebanyakan berusia lanjut, dan Ibu Diro yang skalanya lebih kecil. Sementara usaha Ibu Diro terseok-seok karena masih bertahan dengan jenis dan motif tradisional -seperti selendang dan jarik-, yang mulai kurang diminati, Rachmad masih menyukai eksperimen.
Saya teringat pernyataan Rachmad ketika saya menemuinya, sepuluh tahun lalu. Ketika itu, ia menyatakan sanggup membuat kain dengan bahan rambut. “Saya yakni bisa mengerjakannya,” tuturnya. Hiperbolis? Mungkin. Tapi, sesumbar Rachmad bukan bualan semata. Ia pernah menenun berbahan eceng gondok atau jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang biasa dipakai untuk bahan tikar atau karung goni. Eksperiman itu bahkan berbuah manis. Pada pertengahan 1980-an, ia keliling Bali dan menjajakan beberapa contoh barang produksinya, yang ketika itu dia buat dengan zat pewarna alami seperti dari dedaunan atau kulit buah mahoni. “Di Bali, saya bertemu orang Jerman. Dia langsung memesan dalam jumlah besar,” kenangnya.
Boleh jadi karena kampanye lingkungan sangat kuat di negeri-negrei barat, produk Rachmad cepat ludes di pasar luar negeri. “Yang saya dengar, kain buatan saya dijual seharga US$ 500 per meter,” ujarnya. Padahal, kepada orang Jerman itu, Rachmad hanya menawarkan harga Rp 5.000 per meter. Meski tahu harga jualnya, Rachmad tak menyesal atau kemaruk meraup untung besar. “Yang penting, produksi kami lancar,” imbuhnya.
Dan, benar. Dari perkenalan itulah, omzet usahanya bisa mencapai Rp 100 juta hingga Rp 120 juta per bulan. Padahal, masa itu merupakan saat paceklik bagi industri tenun. “Akibat banyaknya mesin-mesin tekstil yang menyerbu Indonesia, saya sempat beralih pekerjaan sebagai pemborong padi di Karanganyar. Usaha kami collapse,” tuturnya. Perkenalannya dengan pembeli asal Jerman itu, jelas menjadi sebuah berkah tak ternilai bagi Rachmad, yang pada akhir 1960-an sudah sanggup membeli sepeda motor BMW seri R-27.
Kian lama, kain-kain produksi Rachmad kian diminati konsumen. Pesanan mengalir bukan hanya dari Jerman, namun juga Jepang, Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya. Beberapa pemesan, bahkan sangat percaya kepada kepiawaian Rachmad meramu benang-benang buatan dengan pewarna hasil eksperimennya. Kadang-kadang, pemesan hanya mengirim motif kasar melalui faksimili dengan sejumlah catatan dan keterangan yang dikehendakinya. Usahanya pun kerap menjadi ajang observasi atau praktek lapangan mahasiswa jurusan tekstil atau desain interior dari beberapa perguruan tinggi ternama seperti Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) atau Institut Teknologi Bandung (ITB).
Malah, tak jarang mahasiwa datang hanya berbekal uang. “Mereka cuma mempresentasikan keinginannya dan kami yang membuatnya. Mahasiswa tinggal pulang membawa hasil untuk dipresentasikan dalam ujian tugas akhir, lalu jadilah mereka sebagai sarjana,” ujarnya terkekeh.
Tapi, itu hanyalah sepenggal kisah manis masa lalu. Sebab, kini tenun lurik sudah sekarat, digerus kecenderungan konsumen yang kian pragmatis. Bahan-bahan katun, wool, linen atau polyester keluaran pabrik-pabrik modern, jelas memiliki karakteristik yang berbeda dengan kain yang dibuat dengan mesin tenun manual milik Rachmad. Meski menggunakan jenis benang yang sama, hasilnya akan sangat nyata bedanya.
Satu hal yang masih menjadi semangat berkaryanya, hanyalah keinginannya tetap mempertahankan keberadaan tenun lurik Pedan. Kalaupun masih ada siswa sekolah mode bergengsi di Jakarta yang menyambanginya, hal itu hanyalah menjadi pelipur lara. Begitu pula, ketika beberapa motif kainnya dibeli orang Amerika lalu ditambahkan label Ocean Pacific sebelum beredar di butik-butik mahal di kota-kota besar.
Kini, ia tinggal menjadi satu-satunya penjaga agar lurik Pedan tak segera menjadi catatan sejarah. Satu matanya sudah rusak, dan satu lagi terkena katarak akut. Ia menolak dilakukan operasi. “Kalau gagal, dan saya menjadi buta, siapa yang akan mengawasi tenun saya?” ujarnya. Maklum, dari enam anaknya, hanya satu yang tertarik meneruskan usahanya
Mengenang Kejayaan Pantai Sumatera Barat
Dalam konteks Indonesia, sejarah mencatat peranan penting laut sebagai kekuatan penggerak sejarah. Semboyan-semboyan seperti "Nenek Moyangku Orang Pelaut", "Kita Bangsa Bahari", "Jalasveva Jayamahe", dan "Indonesia Tanah Airku" merupakan wujud dari rasa keterikatan yang dalam kepada ranah bahari.
Namun, masih sangat sedikit ilmuwan yang memiliki perhatian untuk mengeskplorasi dunia bahari Indonesia. Selain itu, pada umumnya studi tentang peran penting laut yang telah ada juga dilakukan ilmuwan asing. Ilmuwan kita sendiri lebih tertarik pada kajian terhadap berbagai aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tanah darat.
Gusti Asnan, doktor lulusan Universitas Bremen, Jerman, tergerak mengisi kekosongan itu. Lingkup spasial studinya ialah pantai barat Sumatera.
Pantai barat Sumatera yang dimaksudkannya adalah satu kesatuan daerah administratif yang membentang dari Indrapura di selatan hingga Singkel di utara, sesuai dengan yang ditegaskan dalam Besluit van de Hooge Regeering tertanggal 20 Desember 1825. Dalam bibliografi kolonial, kawasan ini disebut Sumatra’s Westkust.
Mengapa kawasan ini sangat penting untuk dipelajari? Pada kurun waktu yang menjadi batasan temporal buku ini, yaitu tahun 1819-1906, dunia maritim pantai barat Sumatera sangat dinamis.
Kawasan ini merupakan salah satu dari sejumlah provinsi di luar Jawa yang mempunyai daerah terluas, memiliki kekayaan alam yang besar, merupakan salah satu daerah yang memberikan pemasukan yang tinggi bagi Pemerintah Hindia Belanda, serta terkenal di kalangan ilmuwan, politisi, saudagar, pelaut, dan para pengelana (halaman 11). Bahkan, menurut Rusli Amran (1988), pada abad 19 salah satu kota di pantai barat Sumatera, yaitu Padang, adalah kota metropolis terbesar di seluruh Pulau Sumatera.
Pusat Perdagangan
Sejak kapan sebenarnya pantai barat Sumatera berperan besar dalam gerak ekonomi Nusantara? Asnan mencatat bahwa kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 menjadi awal bangkitnya kehidupan perdagangan dan pelayaran di pantai barat Sumatera. Kerajaan Aceh mengalihkan pusat perdagangan Asia Tenggara dari Selat Malaka ke pantai barat Sumatera.
Masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) merupakan puncak kejayaan Aceh. Di bawah pemerintahannya, Aceh menguasai hampir semua daerah di pantai barat Sumatera, seperti Singkel, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, dan beberapa kota pantai lainnya. Fasilitas dan akses yang disediakannya membuat kota-kota tersebut menjadi sangat aktif.
Eschel-Kronn menyebut bahwa saudagar dari berbagai bangsa, seperti Eropa, India, Mongol, Benggala, Siam, China, Jawa, Melayu, Armenia, Malabaren, dan Mooren dari Pantai Koromandel beramai-ramai datang ke Aceh. Barang yang mereka jual belikan antara lain hasil hutan, batu permata, dan emas.
VOC rupanya tertarik pula dengan pantai barat Sumatera. Lewat berbagai lobi kepada Aceh, VOC mendapatkan kesempatan untuk berdagang di kawasan ini. Bahkan, VOC bergerak lebih jauh dengan mengikat kerja sama dengan raja-raja kecil di sepanjang pantai barat Sumatera yang tidak puas dengan Aceh. Secara perlahan-lahan VOC mulai memonopoli aktivitas niaga di kawasan ini, khususnya lada dan emas, dua komoditas utama yang diperdagangkan.
Namun, ketidakefisienan yang terjadi di tubuhnya membuat VOC mengalami kemunduran, sampai-sampai posnya di pantai barat Sumatera kemudian dicap verliestpost (pos yang selalu merugi). Pada saat yang sama, para pedagang Inggris mulai melakukan penetrasi di Padang (halaman 65, lihat juga Bastin, 1957). Namun, aktivitas ekonomi di Padang lumpuh total tak lama kemudian karena serbuan Le Meme, bajak laut Perancis pada tahun 1793 dan guncangan gempa besar yang memorakporandakan kapal-kapal di pelabuhan, jalan-jalan, gudang, serta rumah penduduk di tahun 1797.
Melalui Perjanjian London, Inggris mengembalikan pantai barat Sumatera ke Belanda. Tepat pada 22 Mei 1819 Pemerintah Hindia Belanda ditunjuk untuk mengendalikan kawasan itu. Untuk memperkuat kekuasaannya, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan strategi devide et impera (pecah belah dan kuasai). Mereka melibatkan diri pada konflik lokal, khususnya dengan memberikan bantuan kepada para tokoh adat yang tengah tersudut oleh Gerakan Paderi. Sokongan itu berhasil menaklukkan satu per satu daerah yang dikuasai kaum Paderi. Puncaknya, tahun 1837, kaum Paderi harus merelakan benteng terakhirnya, Benteng Bonjol, jatuh ke tangan Belanda.
Namun, itu tidak berarti pantai barat Sumatera bersih dari aksi resistensi. Di kawasan Samudra Hindia, Belanda sangat terganggu oleh para bajak laut yang diduga berasal dari Aceh. Beberapa kelompok bajak laut amat terkenal dengan tokoh-tokohnya yang legendaris, seperti Panglima Mentawe, Sidi Mara, Po Id, dan Nja’ Pakir. Untuk menumpasnya, Pemerintah Hindia Belanda membuat pos-pos pengamanan di beberapa kota pantai dan juga mengirim ekspedisi militer.
Sementara itu, untuk meraup keuntungan lebih banyak, Pemerintah Hindia Belanda menggunakan Nederlands Handel Maatschappij (NHM) sebagai kepanjangan tangannya dalam menguasai aktivitas ekspor impor di pantai barat Sumatera. Pemerintah Hindia Belanda juga menerapkan sistem Tanam Paksa Kopi pada 1847. Setelah memberikan keuntungan, kedua cara ini akhirnya mengalami kegagalan total sekitar tahun 1860 karena penolakan keras dari penduduk serta wabah hemilia vestarix yang menyerang perkebunan kopi.
Meski demikian, secara umum pantai barat Sumatera tetap sibuk. Para pedagang dari berbagai belahan dunia masih saja membanjiri pelabuhan-pelabuhan pantai barat Sumatera. Bahkan, mulai muncul pula lembaga-lembaga niaga, seperti konsulat dagang, Kamer van Koophandel en Nijverheid te Padang (Kamar Dagang dan Industri [Kadin] Padang), dan bank.
Selain karena perdagangan internasional, pantai barat Sumatera juga menjadi kokoh karena dukungan kawasan sekitarnya. Para pedagang di pantai barat Sumatera kerap menjalin kerja sama dengan para pedagang lokal dari daerah pedalaman, dengan kawasan di sepanjang pantai (antardaerah pantai), serta dengan pulau-pulau lepas pantai.
Ekses lain yang muncul adalah industri perkapalan. Sampai awal abad 20 terdapat sekitar 200 jenis kapal dan perahu di seluruh Kepulauan Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka mendirikan dua maskapai, NISM dan KPM, untuk memonopoli transportasi laut di pantai barat Sumatera bahkan di seluruh Hindia Belanda. Untuk meraih keuntungan ganda, Pemerintah Hindia Belanda juga melakukan renovasi termasuk pembuatan menara suar di hampir semua pelabuhan.
Akan tetapi, situasi menguntungkan itu hanya berjalan sampai permulaan abad 20. Pantai barat Sumatera mendapatkan pesaing berat, yakni pantai timur Sumatera. Hal ini ada kaitannya dengan kedatangan Inggris, terjadinya revolusi industri, dan dibukanya Terusan Suez.
Para saudagar juga mulai beralih ke sana. Klimaksnya terjadi migrasi besar-besaran penduduk pantai barat Sumatera ke Semenanjung Malaysia, termasuk dua suku bangsa besar, Batak dan Minangkabau. Segera sesudah itu, aktivitas ekonomi di pantai barat Sumatera menurun tajam.
Sumbangan berharga
Dalam buku ini Gusti Asnan melakukan aksentuasi pada posisi dan proses terbentuknya jaringan perdagangan, pasar, transportasi, komoditas ekspor dan impor, serta pengaruh kebangkitan ekonomi kawasan pantai timur Sumatera dan kawasan Selat Malaka terhadap kegiatan dan pelayaran di pantai barat (halaman 15). Kekayaan detail yang disajikannya memberikan pemahaman kepada kita tentang life circle salah satu kawasan yang paling sibuk di Nusantara pada dua abad silam.
Secara historiografis, buku ini merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi khazanah ilmu pengetahuan di Indonesia. Karya ini melengkapi literatur kita yang sedikit tentang sejarah bahari. Studi ini merupakan usaha lanjutan yang apik dari kerja awal yang dilakukan AB Lapian tentang bajak laut (1987), Edward L Poelinggomang mengenai dunia maritim Makassar (2003), dan Singgih Tri Sulistiyono seputar jaringan niaga dan pelayaran di Laut Jawa.
Ada benarnya juga apa yang dikatakan Heather A Sutherland, guru besar di Vrije Universiteit Amsterdam, dengan penerbitan buku tentang sejarah maritim di Indonesia diharapkan dapat membuat para sejarawan muda tergerak untuk melakukan sendiri studi tentang sejarah maritim.
Masih banyak celah yang belum terisi oleh sejarawan. Misalnya, apakah Kalimantan tidak mengenal kehidupan maritim? Apakah laut selatan Jawa tidak pernah dipakai sebagai pelabuhan mengingat ada bukti bahwa orang-orang Nusantara pernah berkunjung ke Australia jauh sebelum pelaut Inggris melakukannya?
Selain sebagai karya ilmiah, penelitian menyangkut sejarah sosial dan ekonomi masyarakat pelabuhan, perdagangan internasional, dan pelayaran antarnegara akan bermanfaat untuk menyusun kebijakan. Dengan memakai studi tersebut, pemerintah dapat mendayagunakan kawasan pantai dan selat dengan maksimal sehingga masyarakat pantai yang selama ini dikenal sangat miskin bisa ditingkatkan kesejahteraannya. Gusti Asnan telah membuktikan bahwa dua abad yang lalu masyarakat pesisir pantai adalah masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Di Granada, Berakhirnya Kejayaan itu D
Sebagai misal, Ibnu Massarah diasingkan, Ibnu Hazm diusir dari tempat tinggalnya di Majorca, kitab-kitab karya Imam Ghazali dibakar, ribuan buku dan naskah koleksi perpustakaan umum al Ahkam II dihanyutkan ke sungai. Ibnu Tufail, Ibnu Rushdy disingkirkan. Nasib yang sama, juga dialami Ibnu Arabi.
Pada pertengahan abad ke-16 terjadilah pemaksaan besar-besaran secara kejam terhadap orang-orang Yahudi dan Muslimin untuk menganut agama Katholik, yang terkenal dalam sejarah sebagai “Spanish Inquisition”.
Pada masa itu keadaan orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam sangat menyedihkan, karena penganiayaan dari pihak Gereja Katolik Roma yang dilaksanakan oleh inkuisisi tersebut.
Ada tiga macam sikap orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam dalam menghadapi inkusisi itu. Pertama, yang tidak mau beralih agama. Akibatnya mereka disiksa kemudian dieksekusi dengan dibakar atau dipancangkan di kayu-sula. Kedua, beralih agama menjadi Katholik Roma. Mereka diawasi pula apakah memang serius dalam konversi atau sekedar mencari penyelamatan. Kelompok orang Islam yang beralih agama itu disebut kelompok “Morisko”, (Moorish adalah penyebutan bagi kaum Muslim di Spanyol. Ketiga melarikan diri dengan hijrah menyeberang Laut Atlantik yang dahulunya dinamakan Samudra yang gelap dan berkabut menuju Afrika Utara di bawah Khilafa Utsmaniyah.
Penganiayaan itu mencapai puncaknya semasa Paus Sixtus V (1585-1590). Raja Spanyol Carlos V mengeluarkan dekrit pada tahun 1539 agar mereka yang masih mempertahankan keislamannya dihukum bakar dan dieksekusi di kayu salib. Yang kedua dekrit itu diratifikasi pada 1543, dan disertai perintah pengusiran Muslimin keluar dari jajahan Spanyol secara total di seberang laut Atlantik.
Oya, petaka Perang Salib juga telah membuat kita kehilangan perpustakaan-perpustakaan paling berharga yang ada di Tripoli, Maarrah, al-Quds, Ghazzah, Asqalan, dan kota-kota lainnya yang dihancurkan mereka. Salah seorang sejarawan menaksir, buku-buku yang dimusnahkan tentara Salib Eropa di Tripoli sebanyak tiga juta buah.
Pendudukan Spanyol atas Andalusia juga telah membuat kita kehilangan perpustakaan-perpustakaan besar yang diceritakan sejarah dengan mencengangkan. Semua buku dibakar oleh pemeluk-pemeluk agama yang fanatik. Bahkan buku-buku yang dibakar dalam sehari di lapangan Granada menurut taksiran sebagian sejarawan berjumlah satu juta buku. (Dr. Mustafa as-Siba’i, Peradaban Islam; Dulu, Kini dan Esok, hlm. 187)
Granada tinggal kenangan, sejak berkecamuknya Perang Salib. Tepat pada 2 Januari 1492, Sultan Islam di Granada, Abu Abdullah, untuk terakhir kalinya melihat Al Hambra. Granada, benteng pertahanan terakhir ummat Islam jatuh pada 1492. Sekadar untuk tahu bahwa Granada, kota yang terletak di selatan kota Madrid, ibukota Spanyol sekarang, adalah salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam yang agung dan tergolong dalam kawasan lainnya yang tak kalah menarik dan bersejarah setelah Andalusia, Cordova, Balansiah, Bahrit, Ichiliah, Tolaitalah dan yang lainnya. Granada juga masyhur sebagai kiblat yang menjadi tumpuan harapan para pelajar yang datang dari segenap kawasan yang berada di sekitar Granada, baik kaum muslimin maupun nonMuslim. Pusat pengkajian yang masyhur di Granada adalah al-Yusufiah dan an-Nashriyyah.
Di sini, juga telah melahirkan banyak ilmuwan muslim yang terkenal. Di antaranya Abu al-Qasim al-Majrithi sebagai pencetus kebangkitan ilmu astronomi Andalusia pada tahun 398 Hijriah atau sekitar tahun 1008 Masehi. Beliau telah memberikan dasar bagi salah satu pusat pengkajian ilmu matematika yang masyhur. Selain beliau, Granada juga masih memiliki sejumlah ilmuwan dan ulama terkenal, di antaranya adalah al-Imam as-Syatibi, Lisanuddin al-Khatib, as-Sarqasti, Ibnu Zamrak, Muhammad Ibnu ar-Riqah, Abu Yahya Ibnu Ridwan, Abu Abdullah al-Fahham, Ibnu as-Sarah, Yahya Ibnu al-Huzail at-Tajiibi, as-Shaqurmi dan Ibnu Zuhri. Di kalangan perempuan tercatat nama-nama seperti Hafsah binti al-Haj, Hamdunah binti Ziad dan saudaranya, Zainab.
Amat wajar dong kalo ilmuwan sekelas Emmanuel Deutch berkomentar, “Semua ini memberi kesempatan bagi kami (bangsa Barat) untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, sewajarnyalah jika kami selalu mencucurkan airmata manakala kami teringat saat-saat terakhir jatuhnya Granada.” (M. Hashem, Kekaguman Dunia Terhadap Islam, hlm. 100)
Granada adalah benteng terakhir kaum muslimin di Andalusia (Spanyol) yang jatuh ke tangan bangsa Eropa yang kafir. Semoga Islam kembali memimpin dunia. Mencerahkan dan menjadi “rahmatan lil ‘alamin”. Yup, Islam yang memberikan masa depan dunia dengan lebih cerah.
Bernostalgia di Spanyol
Kita mengenal dari sejarah, 12 Juli 711 atau bertepatan dengan Ramadhan 92 H, Thariq bin Ziyad bersama sejumlah besar pasukannya, berhasil memasuki wilayah Spanyol melewati selat di antara Maroko dan Spanyol, yang kemudian diberi nama Jabal Thariq (sekarang di kenal dengan nama Gibraltar yang terletak di teluk Algeciras). Selat ini menghubungkan antara Samudera Atlantik dengan Laut Mediterania. Pemerintahan Islam di Andalusia, demikian nama Spanyol dikenal saat itu, pada abad ke-8 hingga 15 adalah pemerintahan Islam yang pertama kali berinteraksi dengan bangsa Eropa. Hampir delapan abad lamanya Islam berkuasa di Andalusia sejak tahun 711 M hingga berakhirnya kekuasaan Islam di Granada pada tanggal 2 Januari 1492 M / 2 Rabiul Awwal 898 H.
Peristiwa di tahun 711 M itu mengawali masa-masa Islam di Spanyol. Pasukan Thariq sebenarnya bukan misi pertama dari kalangan Islam yang menginjakkan kaki di Spanyol. Sebelumnya, Gubernur Musa Ibnu Nushair telah mengirimkan pasukan yang dikomandani Tharif bin Malik. Tharif sukses. Kesuksesan itu mendorong Musa mengirim Thariq. Saat itu, seluruh wilayah Islam masih menyatu di bawah kepemimpinan Khalifah al-Walid dari Bani Umayah.
Berkat kedatangan Islam di Andalusia hampir delapan abad lamanya kaum Muslim mengusasi kota-kota penting seperti Toledo, Saragosa, Cordoba, Valencia, Malaga, Seville, Granada dan lain sebagainya, mereka membawa panji-panji ke-Islaman, baik dari segi Ilmu pengetahuan, kebudayaan, maupun segi arsitektur bangunan. Kini bukti kemajuan peradaban Islam tempo dulu di Spanyol masih dengan jelas terliahat dari sisa-sisa bangunan yang penuh sejarah dari Toledo hingga Granada, dari Istana Cordova hingga Alhambra. Menurut sebagain ahli sejarah, 2/3 gereja-gereja masyhur (cathedral) yang ada di berbagai kota di Andalusia adalah bekas mesjid.
Di negeri inilah pula telah lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Agama Islam, Kedokteran, Filsafat, Ilmu Hayat, Ilmu Hisab, Ilmu Hukum, Sastra, Ilmu Alam, Astronomi, dan lain sebagainya. Andalusia kala itu boleh dikatakan sebagai pusat kebudayaan Islam dan Ilmu Pengetahuan yang tiada tandingannya setelah Konstantinopel dan Bagdad.
Selain melahirkan ilmuan-ilmuan dan penemuan, Andalusia juga menjadi saksi kegemilangan arsitektur Islam yang khas dan tidak tertandingi. Bahkan buku panduan resmi pemerintah Spanyol mengakui, setelah jatuhnya ke tangan Kristen, para penguasa negeri itu masih meneruskan bentuk-bentuk arsitektur Islam dalam membangun istana-istana mereka. Bahkan, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella menempati Al Hambra sebagai tempat tinggal mereka dan menerima Columbus sebelum melakukan perjalanannya mengelilingi dunia.
Selain melahirkan ilmuan-ilmuan dan penemuan, Andalusia juga menjadi saksi kegemilangan arsitektur Islam yang khas dan tidak tertandingi. Bahkan buku panduan resmi pemerintah Spanyol mengakui, setelah jatuhnya ke tangan Kristen, para penguasa negeri itu masih meneruskan bentuk-bentuk arsitektur Islam dalam membangun istana-istana mereka. Bahkan, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella menempati Al Hambra sebagai tempat tinggal mereka dan menerima Columbus sebelum melakukan perjalanannya mengelilingi dunia.