Senin, 26 Mei 2008

Mengenang Kejayaan Negeri Para Peraja

[PHOTO: Rekontruksi perjuangan Sultan Babullah.] 05/2/2005 15:59 — Kesultanan Ternate pernah meraih masa kejayaan pada abad XVI-XVII. Perjuangan rakyat Ternate mengusir penjajah pun tercatat dalam sejarah. Misalnya keberanian Sultan Babullah mengepung benteng Portugis.


Liputan6.com, Ternate: Hari baru saja terang tanah ketika sejumlah warga Desa Foramadiahi, Kecamatan Pulau Ternate, Maluku Utara, satu per satu keluar rumah. Rupanya mereka hendak menuju kediaman Keni, seorang tokoh masyarakat setempat yang cukup disegani. Di sanalah warga berkumpul untuk mempersiapkan ziarah ke makam Sultan Babullah, penguasa Kesultanan Ternate di Gunung Gamalama, satu-satunya gunung yang menjulang tinggi di Pulau Ternate. Ziarah ini mereka lakukan sehubungan dengan peringatan hari ulang tahun ke-754 Kota Ternate yang jatuh pada esok harinya.

Negeri Rempah-Rempah. Begitulah julukan lain Kesultanan Ternate pada abad XV. Wajar, soalnya sumber kekayaan alam, berupa tanaman rempah-rempah, seperti cengkih, pala, dan lada yang dimiliki Ternate sangat masyhur kala itu. Tak mengherankan, bila kemudian bangsa Arab, Tionghoa, Portugis, Belanda, dan sejumlah negera lainnya tergiur menyinggahi Ternate.

Ternate terletak di sebuah pulau kecil di ujung Barat Kepulauan Halmahera. Penduduk pertama Ternate berasal dari Kerajaan Jailolo di Pulau Halmahera yang mengungsi akibat penindasan penguasa. Dan, masuknya Islam pada abad XV di Ternate menjadikan kehidupan mereka makin maju. Mereka juga mengenal sistem kemasyarakatan dan pemerintahan yang maju. Ada pun masuknya Islam di wilayah tersebut sekitar 1486. Tepatnya saat putra Kaicil Marhoem, Zainal Abidin memeluk Islam dan sempat berguru dengan salah satu Walisongo, yakni Sunan Giri. Saat itulah penduduk Ternate mengartikan Kaicil sebagai putra sultan.

Sebutan Kaicil ini memang tak lepas dari sejarah Ternate itu sendiri. Ternate adalah salah satu kota tertua di Indonesia. Bahkan, kota ini tercatat dalam sejarah sebelum Kerajaan Hindu Majapahit (1294-1478) berkuasa di Nusantara. Namanya tercatat dalam Kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular, pujangga besar pada masa Raja Hayam Wuruk.

Penduduk pertama Ternate berasal dari Kerajaan Jailolo. Mereka kemudian mengangkat pemimpin lokal dengan gelar Kaicil sebagai penguasa. Melalui berbagai peperangan, diplomasi, dan permusuhan, Ternate kemudian tumbuh menjadi kerajaan besar yang dipatuhi penguasa sekitarnya, seperti Bacan, Tidore, dan Jailolo. Penduduk empat wilayah ini sebenarnya adalah kerabat dekat atau disebut Moloku Kie Raha (kerajaan empat gunung di Maluku).

Sebagai pulau penghasil rempah-rempah, Ternate rupanya membuat bangsa Eropa tergiur untuk datang. Bangsa Eropa pertama yang masuk ke Ternate adalah Portugis pada 1512. Perlahan-lahan dengan liciknya Portugis mulai mengusik ketenteraman rakyat Ternate. Sampai kini, sisa-sisa kejayaan Portugis di Ternate masih berdiri, berupa sejumlah benteng. Satu di antaranya adalah Benteng Toloco. Meski telah termakan zaman, benteng itu masih gagah berdiri.

Niat Portugis yang semula hanya ingin berhubungan dagang dengan Kerajaan Ternate, ternyata hanya tipu muslihat. Setelah membangun banyak benteng, Portugis justru ingin menguasai pulau Ternate dengan cara yang kasar. Tokoh-tokoh besar Kesultanan Ternate banyak dibunuh dan masyarakat dipaksa setia pada raja Portugis, King John III.

Puncak kemarahan rakyat Ternate adalah saat Kaicil atau Sultan Hairun Jamil dibunuh dengan cara yang licik. Saat itu, gubernur Portugis mengundang Sultan Hairun ke meja perundingan. Bukannya berunding, Sultan yang disayang rakyatnya itu justru dibunuh dengan kejam. Kekejaman Portugis membuat anak Sultan Hairun, yakni Sultan Babullah marah besar.

Sejak ayahnya tewas, Babullah yang menjadi pewaris Kesultanan Ternate berjanji mengusir Portugis dari negerinya. Ia bertekad akan memerangi Portugis sampai mereka terusir dari "Jazirah Al-Mamlakatul Mulukiyah" atau Negeri Para Peraja. Perang pun berkecamuk antara 1570 sampai 1575.

Tindakan pertama yang dilakukan Sultan Babullah adalah mengepung Benteng Portugis (Sao Paulo). Pengepungan sangat erat sehingga tidak seorang pun dapat masuk atau keluar benteng. Dengan demikian diharapkan orang-orang Portugis akan menyerah setelah persediaan makanan mereka habis. Pengepungan berlangsung selama lima tahun dan akhirnya orang-orang Portugis menyerah.

Di saat pengepungan terakhir, Babullah memberikan kesempatan selama 24 jam bagi orang Portugis meninggalkan Kerajaan Ternate. Ia berjanji bahwa semua orang Portugis dengan harta miliknya boleh berangkat ke Ambon atau Malaka secara damai. Tiga hari sesudah penyerahan benteng, tibalah sebuah kapal Portugis dan diterima dengan baik oleh Sultan. Kemudian semua orang Portugis bersama-sama orang Kristen Ternate pindah ke Ambon. Warga Portugis yang menikah dengan wanita-wanita Ternate boleh menetap. Di kemudian hari, mereka berpindah ke Tidore.

Situasi ini justru dimanfaatkan Sultan Tidore untuk bersahabat dengan Portugis yang kemudian mengizinkan mereka mendirikan benteng di sana. Di sisi lain, Sultan Babullah terus berusaha mencari pembunuh ayahnya dengan mengirim utusan ke Spanyol--Tahun 1580 Portugis dipersatukan dengan Spanyol--yang dipimpin Naik. Tugas mereka menuntut agar Raja Spanyol menghukum pembunuh Sultan Hairun. Tapi, ternyata bahwa si pembunuh yang bernama Mesquita sudah meninggal.

Sultan Babullah akhirnya wafat pada Juli 1583 dan diganti Sultan Said (1583-1606). Tapi, perang terhadap bangsa Portugis masih terus berlanjut dan berkobar sampai di Ambon. Peperangan terus berlanjut sampai masuknya penjajah baru yaitu orang-orang Belanda yang mengalahkan Portugis pada 1605.

Kini, sudah 754 tahun Kota Ternate berdiri. Dengan Gunung Gamalama yang berdiri megah di tengah pulau, rakyat Ternate hidup bersahaja, tenteram, dan damai. Meski rakyat Ternate telah bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan berarti mereka melupakan sejarah para nenek moyangnya. Kebesaran perjuangan Sultan Babullah dalam mengusir penjajah tetap dikenang sepanjang masa.

Untuk membangkitkan kembali semangat heroik para pahlawan Ternate enam abad silam, warga Kampung Foramadiahi--salah satu kampung yang dulu menjadi pusat Kesultanan Ternate--berencana merekontruksi perjuangan Sultan Babullah. Warga pun berkumpul di rumah Keni. Dari pertemuan itu, warga sepakat untuk berziarah kubur ke makam Sultan Babullah sebelum merekontruksi perjuangan Sang Sultan.

Ziarah kubur ini tak melibatkan banyak orang. Hanya 12 orang yang pergi. Pasalnya, makam Sultan Babullah terletak cukup jauh dan memakan waktu satu jam perjalanan untuk sampai ke punggung gunung api setinggi 2.700 meter di atas permukaan laut. Tak heran, hanya mereka yang kuat yang diutus untuk berziarah. Tak ada persiapan khusus untuk ziarah kali ini, selain menunjuk orang yang sedianya membacakan doa di depan makam nanti.

Setelah menempuh perjalanan panjang, warga Desa Foramadiahi atau disebut pula Kampung Fora pun tiba di makam Sultan Babullah. Di depan pusara, warga bersimpuh memanjatkan doa-doa kepada arwah. Sultan, bagi warga kampung di kaki Gunung Gamalama, adalah simbol tertinggi perjuangan rakyat Ternate. Meski berabad-abad telah berlalu, dinasti Kesultanan Ternate tetap dihormati dan disegani sampai sekarang.

Esok harinya, perayaan yang dinanti-nanti tiba. Seluruh rakyat Ternate bersukacita menyambut kelahiran kota tercinta di depan kedaton Kesultanan Ternate. Dipimpin keluarga sultan, warga Ternate menggelar upacara penghormatan bagi para pahlawan.

Di Kampung Foramadiahi, kesibukan warga mempersiapkan rekontruksi perjuangan Sultan Babullah sudah terlihat. Warga mulai turun menuju Benteng Kastela, sebuah benteng Portugis yang berhasil diruntuhkan pasukan Sultan Babullah. Hujan deras yang mengguyur Kota Ternate tak diiraukan warga yang bersemangat. Meski perjalanan menuju Benteng Kastela harus ditempuh sekitar lima kilometer, warga tak gentar. Mereka, bahkan, berteriak semangat sambil terus menari tarian rakyat, Tari Cakalele.

Malam mulai menjelang saat warga Foramadiahi hampir tiba di Benteng Kastela. Suara genderang tifa dan gong besar menambah semangat heroik warga. Di tengah perjalanan, warga pejuang pun bergabung dengan keluarga Sultan Ternate. Bersama-sama, mereka mengepung Benteng Kastela. Rasa lelah, haus, dan lapar tak diiraukan para pejuang. Sejatinya, kisah heroik perjuangan Sultan Babulah dan rakyatnya di abad ke-15 seakan merasuki warga Foramadiahi malam itu. Bahkan, saking bersemangatnya seorang warga sempat kerasukan.

Malam ini, setelah enam abad berlalu, warga Ternate kembali merasakan hal yang sama. Rasa Syukur akan kemenangan yang dicapai Sultan Babullah seakan merasuki warga Ternate yang hadir di Benteng Kastela. Obor dinyalakan untuk mengenang para pahlawan bangsa. Benteng Kastela telah direbut. Rakyat pun bersorak gembira. Malam itu diakhiri dengan sebuah pesta kemenangan.(ORS/Ria Satriana Budi dan Bambang Triono)

Tidak ada komentar: