Senin, 26 Mei 2008

Mengenang Seratus Tahun Bung Hatta

Mengenang 100 tahun proklamator kemerdekaan kita, Mohammad Hatta, 12 Agustus 1902-12 Agustus 2002, agaknya layak dilakukan seperti meninjau kembali hampir seluruh proses terbentuknya bangsa kita. Meninjau kembali berarti menilai ulang masa 100 tahun itu dengan pikiran warga negara merdeka. Tidak akan mengherankan bila tinjauan seperti itu menimbulkan kesadaran tentang betapa selama ini anggapan kita mengenai proses tersebut sarat dengan mentalitas rakyat jajahan.

Berbeda dari kebanyakan rakyat jajahan, Hatta tidak terperangkap dalam hanya menolak atau menerima cita-cita itu. Sebaliknya, ia dengan sangat bebas memilih dari kehidupan sekitarnya apa yang dianggap perlu bagi diri sendiri dan masyarakatnya. Sikap bebas ini, khususnya rasa girangnya menjelajahi hidup, selama ini dikaburkan, seolah-olah itu merupakan cacat, diganti dengan gambaran kesalehan Hatta yang hampir menjadi karikatur. Sesungguhnya masa kecil Hatta merupakan masa kemerdekaan bagi dirinya, kegirangan menjelajah kehidupan.

Hal yang serupa berlaku juga bagi masa tinggal Hatta di Belanda selama 11 tahun, 20 September 1921- 20 Juli 1932, kurun yang khusus akan dibicarakan di dalam tulisan ini. Sampai sekarang, masa tinggal Hatta di Belanda masih umum dianggap sebagai masa belajar, masa "menuntut ilmu" di negeri maju yang peradabannya jadi idaman. "Belajar" di sini dipahami bukan sekadar upaya individual, tetapi lebih sebagai usaha kolektif, yaitu hasrat suatu masyarakat keseluruhan untuk menyamai perkembangan masyarakat lain yang dianggap lebih maju. Bagi masyarakat yang belajar itu hubungan tersebut mengandung perasaan rendah diri, hubungan tidak sederajat dengan pihak lain.

Bertolak ke Rotterdam

Hatta meninggalkan Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, menuju pelabuhan Rotterdam, Nederland, pada Rabu, 3 Agustus 1921. Tiketnya kelas dua, sama dengan yang biasa dibeli oleh pejabat pemerintah golongan tengah yang libur ke Belanda. Di kapal itu ia sekamar dengan seorang Belanda totok berpangkat sersan mayor. Tidak hanya itu. Ketika berlabuh di Marseille, Perancis, Hatta berani turun ke darat berkat kemahirannya berbahasa Perancis, dan jadi pemandu bagi suatu keluarga Belanda yang membayari segala keperluan Hatta selama sama-sama menjelajahi kota itu.

Tiba di Rotterdam, Senin 5 September 1921, Hatta langsung menikmati buah pergaulannya yang sederajat dengan segala pihak selama di Batavia. Ia dijemput oleh Ir MJ Rvmer, kenalan Ir Van Leeuwen, tokoh yang memperkenalkan Hatta dengan perkumpulan teosofi. Walaupun demikian, Hatta tidak sampai tergantung pada kebaikan Rvmer dengan tinggal di rumahnya, Rozenburglaan No 52a, Rotterdam. Esok harinya Hatta segera pindah ke tempat yang lebih bebas, Tehuis voor Indische Studenten, Pesanggrahan Mahasiswa Hindia-Belanda di St Mauritsplein, sebelah utara pusat Kota Den Haag, yang baru resmi buka 15 Maret 1921.

Tindakan ini pun bukan tanpa perhitungan ekonomis. Bagi seorang pelajar, sekadar hidup di Belanda perlu paling sedikit 150 gulden sebulan atau 5 gulden sehari. Menginap di Tehuis itu hanya bayar 3 gulden, jadi cuma 90 gulden sebulan. Dengan bayaran semurah itu penghuni sudah dapat makan 3 kali sehari, dengan nasi untuk makan malam, selebihnya menu Eropa, roti. Pada hari Minggu disediakan nasi goreng. Hatta sendiri menilai penguni "sangat dimanjakan". Dengan 3.000 gulden di kantung, Hatta boleh merasa lega, paling kurang selama tahun pertama. Masuk akal bahwa Hatta segera terjun ke dalam kehidupan mahasiswa di Nederland dengan sepenuh hati.

Setelah seminggu di Den Haag, Hatta didatangi oleh Nazir Pamoentjak. Dengan semangat yang sama seperti memperkenalkan Jong Sumatranen Bond (JSB) di Padang Januari 1918, Nazir memberi tahu Hatta bahwa di Nederland sudah tidak ada lagi Inlander karena sudah menyebut diri Indonesier, sedang Nederlandsch-Indie sudah diganti dengan "Indonesia" sesuai anjuran Prof Dr Van Vollenhoven. Di Nederland juga sudah berdiri komite untuk autonomie voor Nederlandsch-Indie. Penganjurnya para guru besar Universitas Leiden. Ketuanya seorang guru besar emeritus di Fakultas Hukum berusia 76, Prof Dr Van Oppenheim.

Tentu Hatta agak kaget ketika kemudian Nazir mendesaknya masuk organisasi Indische Vereeniging, karena di Belanda tidak ada "Jong" ini atau "Jong" itu. Kenapa tidak Indonesische Vereeniging tukas Hatta. Nazir harus menjelaskan bahwa "Indische Vereeniging" didirikan pada 25 Oktober 1908, sedangkan penamaan Indonesier dan Indonesisch diperkenalkan pada 1917.

Boleh jadi "propaganda" Nazir itu menggugah juga, karena Sabtu berikutnya, 17 September 1921, Hatta langsung menerima anjuran Nazir agar berkenalan dengan teman-teman di Leiden. Hari itu ia berangkat dengan kereta api dari Den Haag, dan hanya dalam 15 menit sudah sampai di Stasiun Leiden. Yang lama, sekitar 30 menit, justru menunggu trem dari Tehuis ke stasiun Den Haag.

Sesampai di Leiden, Hatta langsung ke kamar Nazir di Bilderdijkstraat No 1, di Leiden Selatan, tetapi malamnya menginap di kamar Haji Dahlan Abdoellah di Hoge Woerd, Leiden Timur. Nazir, yang sebenarnya sudah lulus HBS pada Mei 1917, terlambat ke Belanda karena perang, sehingga ia baru akan masuk Fakultas Hukum di Universitas Leiden pada September 1922. Ketika bertemu Hatta di Den Haag, Nazir baru lulus ujian negara di bidang bahasa-bahasa klasik. Sebaliknya, Dahlan Abdullah menjabat guru bantu dalam bahasa Melayu untuk Frof Dr Van Ronkel.

Malam Minggu itu, Hatta bersama Nazir Pamoentjak dan Dahlan Abdoellah menemui mahasiswa lain di Hoge Woerd juga pada suatu hospita (ibu kos) yang menyediakan makan malam kepada pemesan. Mereka adalah Zainal Abidin, Ahmad Soebardjo, Darmawan Mangoenkoesoemo, Maramis, dan Harmen Kartawisastra. Sesudah makan mereka ramai-ramai ke kamar Soebardjo di Bilderdijkstraat, bergabung dengan Samsi Sastrawidagda dan Harsuadi.

Tahun itu resmi tercatat 72 orang pelajar Indonesia di Belanda, 29 siswa dan 43 mahasiswa. Mereka terdiri dari Jawa (48), Ambon (7), Minangkabau (5), Batak (4), Manado (4), Sunda (3), dan Palembang (1). Dari kelompok mahasiswa, hukum (14), kedokteran umum (9), teknik (5), kedokteran hewan (4), indologi (3), sastra (3), ekonomi/bisnis (3), pertanian (1), dan sains (1). Dari kelompok siswa, yang terbanyak adalah tentara (8), baru guru (5).
Yang paling sadar politik di antara mereka diresapi gagasan seorang tokoh yang dianggap paling progresif masa itu, yakni Prof Dr Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), guru besar hukum adat di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, sejak tahun 1901. Ia seorang pelopor aliran pemikiran etis, de etische richting, hal yang sangat berbeda kalau bukan bertentangan dengan politik etis, de etische politiek yang paternalistis berdasarkan anggapan tentang beban moral masyarakat kulit putih. Aliran etis ini dapat dirunut sampai ke pikiran dasar Hugo Grotius, yaitu perdamaian dunia, societas humana, lewat instrumen hukum internasional.

Dalam rangka pemikiran itulah Vollenhoven menulis disertasi untuk promosi doktor di Universitas Leiden, 3 Mei 1898 berjudul Omtrek en inhoud van het internationale recht (Cakupan dan Isi Hukum Internasional), dengan predikat cum laude. Pada tahun 1906, terbit jilid pertama magnum opus dia, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, yang menambah keyakinannya bahwa Hindia-Belanda harus diberi kesempatan menuju otonomi, emansipasi, bebas dari perwalian (ontvoogding).

Enam bulan setelah Hatta tiba di Rotterdam, di dalam suatu artikelnya di surat kabar NRC awal April 1922, Vollenhoven menulis al, Doch de vrijheidsgloed, dien wij bewonderen en eeren in 1572, gloeit sinds een dozijn jaren ook in ons Oosten. Juga semangat merdeka, yang kita kagumi dan hormati pada tahun 1572, bergolak sejak selusin tahun yang lalu di wilayah kita di Timur. Gagasannya tentang perdamaian, otonomi, emansipasi, menjadi populer berkat perkembangan internasional sesudah Perang Dunia I, tetapi sekaligus membangkitkan kemarahan kalangan kapitalis Belanda. Polemik marak sampai golongan kapitalis mendirikan fakultas indologi tandingan di Universitas Utrecht pada tahun 1925.

Kendati tidak pernah menyinggung suasana tersebut, boleh jadi dengan itu Hatta merasa makin yakin dengan masa depan masyarakatnya. Yang pasti Hatta menyimak debat teman-temannya yang baru di kamar Soebardjo sekitar gagasan dasar Vollenhoven mengenai otonomi Hindia-Belanda. Debat baru berakhir tengah malam, dengan dua orang pembicara terbanyak, Nazir Pamoentjak dan Darmawan Mangoenkoesoemo.

Mereka menyatakan rasa tidak puas dengan kerja sama di dalam Indonesische Verbond van Studerenden (Serikat Pelajar Indoneisa) dan pengingkaran Belanda atas janji otonomi dalam "November Belofte" Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum 18 November 1918. Walaupun demikian mereka tidak sampai pada sikap bersama. Yang pasti, sikap radikal hanya ada pada Darmawan Mangoenkoesomo yang menegaskan bahwa kerja sama dengan Belanda tidak akan berhasil.

Debat yang ramai itu tidak menghalangi Hatta menikmati malam panjangnya. Balik ke kamar Dahlan Abdullah, mereka berdua masih ngobrol tentang hal lain seperti kisah naik haji Dahlan beberapa bulan sebelumnya sampai pukul 02.30. Hatta baru bangun pukul 09.00, masih lebih pagi daripada temannya, pukul 10.30. Karena itu, ia sarapan sendiri dari yang sudah tersedia di ruang duduk: teh, kopi, telur, daging asap, dan butir cokelat. Hatta yang tentu sudah belajar etiket Belanda tahu ini hidangan aneh. Biasanya sarapan di Belanda dengan teh, sedangkan kopi untuk makan siang.

Habis sarapan ia dengan santai membaca surat kabar De Telegraaf. Setelah bangun dan sarapan, Dahlan mengajaknya keluar jalan-jalan sambil ngobrol. Tengah hari mereka kembali, dan Hatta kaget melihat menu koffie drinken alias makan siang sama dengan sarapan. Hatta sempat berkomentar bahwa mereka sarapan dan makan siang sambung-menyambung. Dahlan bilang, lumayan daripada Nazir Pamoentjak dua-duanya jadi satu, koffie drinken.

Minggu sore masih mereka habiskan dengan diskusi lagi di tempat Soebardjo sambil makan kue dan minum teh. Baru pukul 20.00, Hatta dan Darmawan meninggalkan Leiden. Hatta ke Den Haag, sedang Darmawan ke Delft. Ia mahasiswa teknik kimia di Technische Hogeschool di kota itu.

Esok paginya, Senin 19 September 1921, Hatta mendaftarkan diri di Handelshogeschool, Rotterdam. Caranya khas prosedur negara maju: bayar uang kuliah setahun (1921-1922) sebesar 200 gulden di bank (Mees & Zoon), lalu dengan tanda terima dari bank melapor di ruang pendaftaran sekolah tinggi itu. Karena waktu melapor itu baru mulai pukul 13:15, Hatta mutar-mutar dulu di sekitar lokasi sekolah tinggi, Pieter de Hoochweg, dekat pelabuhan, sambil tangsal perut. Hatta tidak pesan makanan, cuma segelas susu, tetapi itu merupakan kesempatan pertama ia berhadapan dengan masyarakat biasa Belanda.

Habis melapor, Hatta masih harus menunggu panggilan masuk menghadap rektor sekolah tinggi, Prof Dr F de Vries. Dalam menunggu itu, Hatta bertemu dengan seorang dari hanya dua mahasiswa Indonesia lain yang belajar di sekolah tinggi yang sama, Raden Mas Hidayat, yang sudah duduk di tingkat tiga.

Sambil koffie drinken di kantin sekolah tinggi, Hidayat memperkenalkan Hatta dengan mahasiswa Indonesia ketiga, Suzanna van Joost (peranakan ayah Ambon dan ibu Belanda). Kedua mahasiswa itu belajar di sana atas biaya sendiri, dan mampu jadi anggota korps dan klub mahasiswa elite dengan bayaran 50 gulden sebulan. Hatta menolak ajakan mereka jadi anggota klub atau korps dengan alasan keuangan, tetapi agaknya alasan sesungguhnya menyangkut juga kesadaran politik.

Pertemuan dengan De Vries cuma 15 menit. Sesudah itu Hatta langsung menuju De Westerbookhandel, toko buku terkenal di Rotterdam. Ia memesan buku-buku pegangan di sekolah tinggi, langganan majalah-majalah ekonomi, dan memasang iklan cari kamar. Buku-buku dibeli dengan mencicil, 10 gulden sebulan hingga sejumlah 150 gulden. Buku-buku itu antara lain: Taussig, Principles of Economics; Hartley Withers, The Meaning of Money; Schdr, Handelsbetrieblehre, Ekonomi Perusahaan; Gerstner, Bilanzanalyse, Analisa Neraca; TMC Asser, Schets van het Nederlands Haldelsrecht, Garis Besar Hukum Dagang Nederland.

Jadi, Senin 19 September 1921, Hatta resmi menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Bisnis (Handelshogeschool) Rotterdam dengan kesadaran politik yang tidak kalah tingginya. Perjumpaan dan pertarungan alam pikir Hatta dengan alam pikir Belanda di markasnya sendiri sudah mulai.

Di dataran masyarakat penjajah sendiri

Kuliah, baca, berjuang, bergaul, organisasi, mengamati kehidupan dan menikmati kehidupan, semuanya dengan kebebasan dan tanggung jawab terlihat jelas polanya dalam paparan di atas. Pola itulah yang telah berhasil terbentuk dalam kiprah Hatta hanya sedikit lebih daripada setahun hidup di Nederland. Apa yang menyusul kemudian boleh disebut lebih merupakan akibat, kelanjutan, kalau bukan pengulangan pola tersebut.

Segera setelah mendapat kepastian mengenai beasiswa, Hatta mengikuti jejak Ahmad Soebardjo Djojoadisoerjo dan Iwa Koesoema Soemantri menyingkir ke Lyon, Perancis, untuk menulis artikel-artikel buat Hindia Poetra dan buku ulang tahun Indonesische Vereeniging. Artikel-artikel kali ini dipusatkan pada sejarah perjuangan nasional di Asia, sehingga atas saran Soebardjo, Hatta singgah dulu ke Paris untuk membeli buku-buku yang diperlukan. Sampai pertengahan September 1923, mereka bekerja keras, lalu pulang ke Nederland untuk mengerjakan urusan organisasi, dan untuk Hatta pribadi untuk mengikuti ulangan ujian kandidat yang gagal.

Begitu kuliah dibuka kembali pada Senin ketiga September 1923, Hatta mengikuti kuliah tingkat doktoral, selain menyiapkan diri untuk ujian ulangan kandidat. Kuliahnya di tingkat doktoral dipusatkan pada mendalami teori-teori terbaru ilmu ekonomi yang diberikan oleh Prof Mr F de Vries. Lalu pada 27 November 1923, Hatta dinyatakan lulus ujian ulangan kandidat, sementara kuliah teori ekonomi macet karena De Vries jatuh sakit. Ia baru mengajar kembali setahun kemudian. Profesor lain, seperti GJW Bruins mungkin tidak akan memberi kuliah lagi karena akan sibuk di PBB gaya lama atau Volkenbond. Keadaan ini mempengaruhi kegiatan Hatta, khususnya perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia.

Februari 1924, pengurus baru Indonesische Vereeniging dibentuk, tetapi Hatta berhasil menolak ikut di dalamnya. Yang lebih penting lagi organisasi itu mengganti nama majalah Hindia Poetra dengan Indonesia Merdeka. April 1924, buku ulang tahun Indonesische Vereeniging terbit dan menggemparkan kubu kolonial. Demikian marahnya para pemimpin Belanda dengan sikap politik para mahasiswa Indonesia itu sampai Universitas Leiden ikut dipersalahkan. Tidak hanya itu.

Di Hindia-Belanda, pemerintah jajahan menakut-nakuti para orangtua mahasiswa sehingga melarang anak-anak mereka bergaul dengan pengurus dan anggota Indonesische Vereeniging. Teman karib dan teman sekamar Hatta, Zainuddin, salah seorang yang kena. Ia terpaksa pulang kampung memenuhi perintah ayahnya, sekalipun Hatta sudah berusaha mencegah. Ir Fournier dan Ir Van Leeuwen dengan terus-terang mengecam sikap politik Hatta, tetapi masih cukup toleran untuk tidak menggugat beasiswa Hatta.

Dengan makin jarangnya perkuliahan akibat beberapa profesor yang berhalangan mengajar, dan karena makin tegasnya sikap politik para mahasiwa Indonesia, Hatta seperti dibawa takdir untuk memusatkan tenaga di dalam pergerakan politik. Akhir 1925 ia pindah rumah di Adelheidstraat, Den Haag. Dalam kepengurusan Indonesische Vereeniging untuk 1925, ia terpilih lagi jadi bendahara ketika organisasi itu resmi bernama Perhimpunan Indonesia. Dalam kepengurusan tahun 1926, Hatta malah jadi ketua.

Arah politik ini mempengaruhi kuliahnya. Selama liburan panjang tahun 1924, ia memperdalam bahasa Perancis di Grenoble. Dalam masa pakansi tahun 1925, ia mempelajari koperasi di Skandinavia. Yang lucu atau aneh bagi kita, kendati pemerintah jajahan marah kepada Hatta dan mahasiswa lain, ketika kehabisan duit di Skandinavia, Hatta dan Samsi dipinjami uang oleh konsulat Belanda. Menjelang akhir tahun 1925, Hatta pindah jurusan di sekolah tinggi dari ekonomi umum ke keuangan negara atau ekonomi politik (staatkundige economische richting). Hatta menganggap jurusan itu lebih cocok dengan keperluannya sebagai pejuang politik.

Pidato Hatta sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia bukan main tajam, Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen, Sistem Perekonomian dan Pertentangan Kekuatan. Intinya, penjajah dan rakyat terjajah tidak mungkin kerja sama, tetapi harus bertarung satu sama lain. Inilah dasar teoretis bagi politik nonkoperasi Perhimpunan Indonesia. Dengan itu pula Hatta menolak teori-teori kolonial mengenai sifat asli bangsa-bangsa sebagai penyebab kolonialisme, seperti halnya Gustav Klemm.

Dengan politik nonkoperasi itu Hatta terjun bebas di kalangan pejuang kolonial anti-imperialis internasional. Pada 15 Agustus 1926, Hatta ikut Kongres Perdamaian Internasional di Bierville, dekat Paris. Asas nonkoperasi Perhimpunan Indonesia dan nama Indonesia jadi terkenal. Setelah pemberontakan PKI di Indonesia gagal, Hatta dan Semaun merumuskan konvensi yang mengakui kepimpinan Perhimpunan Indonesia dalam pergerakan nasional, hal yang membuat Stalin mengutuk Semaun.

Dalam kepengurusan Perhimpunan Indonesia 1927, Hatta dipertahankan sebagai ketua. Tugas utamanya menyiapkan kesertaan Perhimpunan Indonesia dalam Kongres Internasional Anti-Kolonialisme yang akan diadakan di Brussel, 10-15 Februari 1927. Kongres ini dirancang dengan dorongan Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme yang bermarkas di Berlin. Liga ini hasil inisiatif Partai Nasionalis Cina, Kuo Min Tang.

Juni 1927, Hatta dan Soetikno berangkat ke Samaden, Swiss, untuk menjenguk Soemadi yang sakit keras. Ia mahasiswa teknik di Delft, dan anggota Perhimpunan Indonesia yang aktif. Dengan sangat menyedihkan Soemadi meninggal di sanatorium, 10 Juni 1927, hanya disaksikan oleh dua penjenguknya. Tetapi, justru pada saat itulah pemerintah Belanda menggeledah kamar-kamar pengurus Perhimpunan Indonesia. Peristiwa itu terbaca di surat kabar oleh Hatta di Samaden esoknya, 11 Juni 1927. Mereka berdua sempat tertawa dengan kebohongan pemerintah bahwa Hatta lari ke luar negeri.

Pada 12 Juni 1927, Hatta dan Soetikno kembali ke Belanda lewat Brussel. Mereka malah gembira bahwa akhirnya Perhimpunan Indonesia berhasil menggetarkan kubu penjajah. Ternyata Hatta tidak diapa-apakan sampai September. Ia bersama perempuan intelektual Belanda, Henriette Roland Holst, masih sempat menghadiri Kongres Liga Perempuan Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan di Gland, pinggir Danau Jenewa, Swiss. Sesudah itu Hatta pulang ke Belanda lewat Paris.

Jumat, 23 September 1927, setelah beberapa hari di Den Haag, Hatta ditangkap di pondokannya. Ia dibawa ke penjara Casiusstraat. Ditangkap juga Nazir Pamoentjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdoel Madjid Djojoadiningrat. Penangkapan ini merupakan awal puncak perlawanan Perhimpunan Indonesia, karena keempat tokoh itu diadili mulai 8 Maret 1928. Pada 9 Maret 1928 keempat tertuduh mengemukakan pembelaannya. Pembelaan Hatta yang diserahkan tertulis dan dikemukakan garis besarnya kemudian terkenal dengan judul Indonesie Vrij. Menunggu sidang terakhir, keempat tahanan ditahan luar.

Kamis, 22 Maret 1928, pengadilan membebaskan keempat orang. Perjuangan Perhimpunan Indonesia mencapai puncaknya, dan menang! Hatta menang! Setelah itu Hatta memusatkan tenaga dan pikiran dalam pergerakan kemerdekaan dengan aktif di Liga Anti-Imperialisme dan Kolonialisme. Akibat gerakan komunis, Hatta dikeluarkan dari Liga pada tahun 1930 bersama Nehru, Maxton, dan Fimmen.

Secara pribadi kemenangannya baru terjadi 5 Juli 1932. Hari itu Hatta lulus ujian doktoral, dan memperoleh gelar Drs Belanda dari Nederlandsch Handelshogeschool te Rotterdam. Pada 20 Juli 1932 Hatta meninggalkan Rotterdam menuju Paris dan Genoa. Dari Genoa ia naik kapal Jerman Saarbruecken ke Singapura. Pada 24 Agustus 1932 Hatta tiba di Batavia.

Tidak ada komentar: